Penulis : Muhsim,S.H.,M.H
Dosen Universitas Islam Indragiri
Muhsin, S.H.,M.H yang sering disapa dengan nama khasnya “Uchein” merupakan praktisi Hukum dan juga sebagai Dosen Hukum Tata Negara memberikan penjelasan yang sedang maraknya atau viranya di beberapa hari kemaren sampai sekarang menjadi perbincangan tentang dinonaktifkannya beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia akibat dari perbuatannya, disini dapat kita uraikan istilah “Nonaktif”.
Saya mencoba menelik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki legitimasi langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Oleh karena itu, segala bentuk pemberhentian atau penonaktifan anggota DPR harus memiliki dasar hukum yang jelas, tegas, serta tidak bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi.
Secara terminologis, “penonaktifan” anggota DPR tidak dikenal secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Instrumen hukum yang tersedia hanyalah mekanisme pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap.
1. Pemberhentian Sementara
Anggota DPR dapat diberhentikan sementara apabila yang bersangkutan sedang tersangkut perkara pidana tertentu, ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus yang ancaman pidananya di atas 5 tahun, atau terjerat masalah etik yang serius. Mekanisme ini dimaksudkan agar anggota DPR yang menghadapi persoalan hukum tidak menggunakan jabatannya untuk menghambat proses peradilan.
2. Pemberhentian Tetap
Pemberhentian tetap dilakukan jika anggota DPR terbukti melakukan tindak pidana tertentu berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan oleh partai politik pengusung sesuai mekanisme recall.
Dari perspektif hukum tata negara, penggunaan istilah “penonaktifan” yang sering dipakai dalam wacana politik sebenarnya merupakan bentuk interpretasi terhadap konsep pemberhentian sementara. Namun, secara akademis, istilah ini kurang tepat karena menimbulkan kesan adanya mekanisme hukum baru yang berdiri sendiri, padahal dalam peraturan perundang-undangan hanya dikenal mekanisme pemberhentian sementara maupun tetap.
Dari sudut pandangan hukum, penonaktifan anggota DPR harus dilihat dalam bingkai:
• Asas kepastian hukum, bahwa segala tindakan lembaga negara harus memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak multitafsir.
• Asas kedaulatan rakyat, karena anggota DPR merupakan representasi rakyat sehingga proses pemberhentian atau penonaktifannya tidak boleh bertentangan dengan prinsip demokrasi.
• Asas checks and balances, di mana penonaktifan anggota DPR tidak boleh dijadikan instrumen politik untuk melemahkan fungsi legislasi, pengawasan, maupun anggaran.
Dengan demikian, istilah “penonaktifan” sebaiknya dipahami sebagai pemberhentian sementara yang diatur dalam UU MD3. Penggunaan istilah yang tidak baku berpotensi menimbulkan kerancuan yuridis dan berimplikasi pada ketidakpastian hukum. Oleh sebab itu, secara akademis dan normatif, mekanisme pemberhentian atau penonaktifan anggota DPR seharusnya merujuk langsung pada regulasi yang ada agar tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum (rechsstaat) dan demokrasi konstitusional.